Pendahuluan
Terjadinya bencana alam seperti kekeringan, gempa dibeberapa daerah di Indonesia, akan mengganggu produksi pangan, kerawanan sosial, meningkatnya penyakit baik menular maupun tidak menular dapat menimbulkan penurunan kualitas lingkungan yang erat dengan pola dan penyebaran penyakit. Dampak yang lebih besar dirasakan bagi masyarakat miskin yaitu kehilangan pekerjaan sehingga pendapatan nyata penduduk menurun, harga bahan makanan pokok meningkat secara substansial, sehingga terjadi penurunan status gizi anak balita dan kaum ibu kelompok miskin karena tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ini mengancam penurunan status kesehatan, peningkatan angka kesakitan dan kematian, serta menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia. Sebagai dampak yang lain adalah angka kesakitan beberapa penyakit menular (endemis) cenderung meningkat (re-emerging) seperti Diare, tuberkulosis paru, DBD, malaria dan timbulnya penyakit baru (new emerging) seperti Flu Burung, flu Babi, dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) /wabah yang mengakibatkan banyak kematian.
Untuk mengantisipasi permasalahan diatas dan untuk mencapai gambaran masyarakat yang diinginkan di masa depan yaitu penduduk yang hidup dalam lingkungan sehat, berprilaku sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, dan memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, dibutuhkan adanya justifikasi yang kuat dan logis dengan didukung data dan informasi epidemiologi yang valid, lengkap, dan tepat waktu yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar bagi pengambilan keputusan. Penerapan evidence based decision making harus benar-benar mulai dilaksanakan untuk menggantikan pelaksanaan pembangunan kesehatan yang selama ini kebanyakan dikerjakan berdasarkan intuisi, perkiraan, politik atau berdasarkan pesanan. Penerapan konsep tersebut memerlukan pengembangan sistem informasi kesehatan disertai penerapan surveilans epidemiologi yang baik dan kuat, agar intervensi yang dilakukan benar-benar sesuai dan menyentuh akar penyebab permasalahan.
Surveilans Epidemiologi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari terjadinya dan penyebaran penyakit atau masalah kesehatan pada sekelompok penduduk (yang dikenal sebagai epidemiologi deskriptif), serta faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit atau masalah kesehatan (yang dikenal sebagai epidemiologi analitik). Sedangkan surveilans epidemiologi adalah pengamatan yang dilakukan secara sistematik dan berkesinambungan terhadap semua faktor yang berperan terhadap terjadinya dan penyebaran suatu penyakit atau masalah kesehatan agar dapat dilakukan usaha pencegahan dan pemberantasan yang cepat dan terarah.
Surveilans epidemiologi bertujuan :
1. Menyediakan informasi bagi perencanaan, pelaksanaan pemantauan dan penilaian program kesehatan, baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif.
2. Memprediksi terjadinya wabah atau KLB.
3. Menentukan prioritas masalah kesehatan untuk diatasi.
4. Mengetahui gambaran epidemiologi suatu penyakit menurut orang, tempat dan waktu
5. Mengetahui jangkauan pelayanan kesehatan.
Kegiatan surveilans epidemiologi terdiri dari :
1. Pengumpulan, pengolahan, analisa dan interpretasi data.
2. Penyajian serta penyebaran hasil interpretasi data yang berupa informasi kepada orang atau lembaga yang memerlukan.
Terhadap sistem surveilans yang sedang dijalankan seharusnya perlu dilakukan evaluasi untuk mengkaji keberhasilan dalam mencapai tujuan dari pelaksanaan surveilans tersebut, sehingga kita bisa berpikir apakah sistem surveilans yang ada selama ini dapat terus dijalankan, memerlukan perbaikan, atau malah harus diubah secara keseluruhan.
Ada enam langkah untuk mengevaluasi sistem surveilans, yaitu :
1. menguraikan pentingnya kejadian/penyakit yang diamati dari sistem surveilans tersebut ditinjau dari sudut kepentingan kesehatan masyarakat. Ini dapat dibuktikan dari besarnya jumlah kasus, insiden atau prevalen, menggunakan indikator besarnya masalah kesehatan, atau melihat sejauh mana kejadian tersebut dapat dicegah.
2. Menguraikan sistem surveilans yang tengah dijalankan, misalnya apa tujuan sistem surveilans tersebut, siapa populasinya, jangka waktu pengumpulan data, informasi apa yang dikumpulkan, sumber informasi, cara analisis data, siapa yang menganalisis data, serta cara dan frekuensi penyampaian informasi.
3. Menguraikan manfaat yang didapat dari sistem surveilans tersebut, misalnya sejauh mana sisten surveilans tersebut dapat mendeteksi adanya perubahan kecenderungan suatu penyakit, mendeteksi adanya wabah, memperkirakan besarnya angka kesakitan dan kematian, dan mengidentifikasi faktor risiko timbulnya penyakit.
4. Melaksanakan evaluasi dengan menggunakan atribut surveilans.
5. Menguraikan sumber daya yaitu dana dan tenaga yang telah digunakan untuk pelaksanaan sistem surveilans tersebut (direct cost)
6. menarik kesimpulan apakah sistem surveilans yang ada telah dapat mencapai tujuannya, serta menyarankan apakah sistem surveilans tersebut dapat terus dijalankan, memerlukan perbaikan, atau harus diubah secara keseluruhan.
Atribut surveilans yang digunakan untuk mengevaluasi sistem surveilans adalah :
1. kesederhanaan (simplicity) yang mencakup kesederhanaan dalam struktur dan kemudahan pengoperasian system surveilans tersebut. Sistem surveilans sebaiknya dirancang sesederhana mungkin, namun masih dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
2. keluwesan (flexibility) yaitu sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan perubahan informasi yang dibutuhkan, atau situasi pelaksanaansurveilan tanpa disertai peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, tenaga dan waktu.semakin sederhana suatu sistem surveilans semakin fleksibel untuk diterapkan pada penyakit/masalah kesehatan lain dengan hanya memerlukan sedikit perubahan.
3. dapat diterima (acceptability) yaitu menggambarkan kemauan seseorang atau suatu organisasi untuk berpartisipasi dalam melaksanakan sistem surveilans. Hal ini dapat dinilai dari berapa persen sumber data yang menyerahkan laporannya, apakah laporannya lengkap (52 minggu) dan tepat waktu. Tingkat penerimaan dikatakan tinggi bila prosentase sumber data yang melapor 80%, dengan kelengkapan laporan 100 % dan ketepatan waktu laporan 80%.
4. sensitivitas (sensitivity) yaitu kemampuannya mendeteksi adanya wabah dan berapa proporsi kasus penyakit yang dapat dideteksi.
5. keterwakilan (representative), yaitu yang dapat menggambarkan secara akurat kejadian penyakit yang diamati dan distribusinya dalam masyarakat menurut variabel epidemiologi ( orang (siapa yang terkena), tempat (dimana) dan waktu (kapan).
6. ketepatan waktu (timeliness), yang menggambarkan kecepatan atau kelambatan sistem surveilans, yang dapat dinilai dari dapat tidaknya dilakukan upaya penanggulangan/pencegahan kejadian/penyakit secara tepat.
7. nilai prediksi positif (positive predictive value) yaitu proporsi populasi yang diidentifikasi sebagai kasus oleh sistem surveilans dan kenyataannya memang benar-benar kasus. Nilai ini sangat penting karena menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas dari definisi kasus. Nilai yang rendah berarti kasus yang diidentifikasi sebenarnya bukan merupakan kasus, sehingga terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi adanya wabah.
Pada era otonomi daerah ini daerah diberi kekuasaan seluas-luasnya untuk menentukan prioritas pembangunan termasuk salah satunya pembangunan bidang kesehatan. Dalam menentukan prioritas tersebut dibutuhkan sistem informasi kesehatan yang tepat dan akurat, untuk itu perlu dikembangkan sistem surveilans epidemiologi yang berorientasi vertikal (informasi ke tingkat atas) dan horisontal (informasi di manfaatkan sendiri) sehingga akan memberikan gambaran masalah di satu tingkatan administrasi tertentu secara menyeluruh untuk selanjutnya dapat dilakukan tindakan pemecahan yang tepat.
Sistem surveilans yang dijalankan selama ini masih belum berjalan secara optimal, terdapat kesan yang kuat bahwa selama ini sistem tersebut dibangun hanya untuk memenuhi kebutuhan vertikal saja sehingga dampaknya ketidaksesuaian sebagian program yang dijalankan di tingkat paling bawah, selain itu pihak-pihak yang menjalankan sistem surveilans juga terkesan kurang maksimal, karena data yang dikumpulkan seringkali tidak valid, tidak lengkap dan tidak tepat waktu.selama ini masih banyak petugas surveilans epidemiologi yang beranggapan bahwa pekerjaan mengumpulkam data merupakan kewajiban rutin, dan data yang dikumpulkan hanya untuk dilaporkan ke tingkat atas, mereka belum menyadari manfaat data yang dikumpulkan untuk puskesmasnya sendiri.
Penyebab lain adalah anggapan selama ini bahwa bekerja di bagian pengelolaan data atau bertugas sebagai surveilans epidemiologi bekerja di tempat kering yang berarti bekerja di tempat yang tidak ada biayanya, biaya yang disediakan puskesmas hanya untuk kegiatan dilapangan, sedangkan untuk kegiatan di dalam gedung yang terdiri pengolahan, analisis dan interpretasi data dianggap sebagai kegiatan rutin administrasi biasa. Akibatnya data yang dikerjakan tidak akurat dan valid. Di saat ini validitas data sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan, sehingga perlu dipikirkan dukungan dana yang memadai, perbaikan manajemen pegawai kesehatan, serta memberikan reward atau penghargaan yang cukup untuk petugas surveilans.
Dari uraian diatas tampak bahwa di era otonomi daerah ini, demikian banyak harapan ditumpukan pada surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi yang handal akan dapat menghasilkan informasi epidemiologi yang jelas, akurat, terarah dan spesifik yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dan tuntutan daerah. Surveilans epidemiologi yang handal dapat mengetahui gambaran epidemiologi suatu penyakit, menentukan penyakit mana yang perlu diprioritaskan untuk diberantas, meramalkan akan terjadinya suatu wabah penyakit, mengetahui sampai dimana jangkauan pelayanan kesehatan, memantau dan mengevaluasi keberhasilan program pemberantasan penyakit dan program kesehatan lainnya yang tengah dilakukan.
Penataan sistem informasi kesehatan
Dalam rangka mendukung otonomi daerah perlu ditata kembali peran, fungsi dan tanggung jawab, serta mekanisme kerja sistem informasi kesehatan baik ditingkat kabupaten sampai ke puskesmas. Untuk itu diperlukan motor penggerak yang terorganisasi dalam suatu sistem dalam bentuk tim fungsional di tingkat kabupaten. Tim ini diharapkan mampu membenahi sistem manajemen data serta melakukan kajian masalah kesehatan, untuk kemudian mengemasnya menjadi informasi yang dapat dijadikan dasar merumuskan serta menentukan prioritas masalah kesehatan di wilayah kabupaten, merumuskan pemecahan masalah dan menyusun perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, serta penilaian program kesehatan secara terpadu berdasarkan data epidemiologi.
Dalam upaya pemberdayaan kabupaten secara nyata, maka penekanan diberikan kepada terbentuknya kelompok kerja di tingkat kabupaten yang dinamakan tim epidemiologi kabupaten (TEK). Strategi utama tim ini adalah melakukan kajian data berdasarkan pendekatan epidemiologi dan pendekatan operasional program maka koordinator tim adalah seorang yang mempunyai kemampuan epidemiologi (S2 Epid, S1 Epid, S1 peminatan epid atau mereka yang telah mengikuti pelatihan epidemiologi), tim ini bertanggung jawab kepada kepala dinas kesehatan kabupaten.
Karena data kajian berasal dari puskesmas dan dari fasilitas kesehatan lainya yang direkam melalui sistem surveilans, maka puskesmas harus bisa menghasilkan data yang valid, lengkap dan tepat waktu. Untuk itu puskesmas harus mulai melakukan reformasi pada manajemen data. Untuk mewujudkan reformasi tersebut diperlukan pembentukan tim epidemiologi puskesmas (TEPUS), sehingga data dan informasi yang dihasilakn dapat digunakan disemua tingkat baik puskesmas sendiri maupun tingkat yang lebih atas. Keberhasilan TEPUS melakukan manajemen data yang baik dipuskemas, maka TEK mempunyai peluang besar untuk melakukan reformasi mendasar di bidang manajemen informasi kesehatan di tingkat kabupaten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar