Sabtu, 15 Agustus 2009

Flu Babi, Monster dari Meksiko ?

Merebaknya penyakit flu babi belakangan ini, sempat mengagetkan dunia. Kondisi ini mengingatkan kembali pada kejadian flu spanyol pada tahun 1918. Saat itu diperkirakan sebagian penduduk dunia meninggal akibat pandemi flu spanyol tersebut.

Mexico menjadi negara pertama sebagai lokasi pemunculan panyakit flu babi ini. Secara cepat penyakit ini merebak paling tidak ke 75 negara hanya dalam waktu beberapa bulan. Lantaran mobilitas manusia, potensi untuk penyebaran virus flu babi H1N1 ini sangat besar. Beberapa negara di Asia termasuk Indonesia, Malaysia dan Singapura telah dikonfirmasikan satu penderita flu babi yang positif.

Sebagai penyakit saluran nafas yang akut, flu babi cepat menular lewat percikan lendir pada saat batuk atau bersin. Penyakit ini memungkinkan terjadinya penularan dari manusia ke manusia, sekalipun angka kematian penyakit ini jauh dibawah flu burung (H5N1). Angka kematian flu babi berkisar 6 persen, sedangkan flu burung jauh diatasnya sekitar 90 persen. Namun perlu diingat virus flu babi menyebar sangat cepat.

Pada manusia flu babi memberikan gejala klinis seperti penyakit flu musiman. Selain demam dan sakit tenggorokan, juga disertai gejala batuk pilek dan badan terasa letih serta nyeri otot. Begitu pula pada penderita tertentu disertai selera makan berkurang dan mengakibatkan tubuh lemas. Apalagi disertai gejala diare, mual bahkan muntah

Penyakit flu babi ini bisa ditularkan melalui udara dan atau kontak langsung. Tak menutup kemungkinan juga ditularkan melalui barang yang terkontaminasi. Sebenarnya virus H1N1 biasa ditemukan pada manusia. Namun virus H1N1 pada manusia ini ditengarai berbeda dengan virus H1N1 pada hewan babi sekalipun virus H1N1 ini identik, namun karakteristik virusnya berbeda. Virus H1N1 pada babi hanya menyerang pada organ pernafasan tetapi virus H1N1 pada manusia ini selain menyerang saluran pernafasan, juga mampu menyebar ke organ tubuh yang lain.

Untuk pengobatan tahap awal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDCP) merekomendasikan oseltamivir dan zanamivir diberikan sedini mungkin. Di Indonesia obat yang tersedia adalah oseltamivir (yang dikenal dengan Tamiflu). Perlu diingat bahwa obat ini akan efektif jika diberikan sedini mungkin setidaknya dua hari sejak timbulnya gejala, setelah batas waktu tersebut, obat ini sudah tidak efektif.

Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebaran flu babi ini antara lain :

· Tutup hidung dan mulut dengan tissue ketika batuk dan bersin

· Buang tissue yang telah digunakan ke tempat sampah tertutup

· Cuci tangan dengan air dan sabun sesering mungkin

· Gunakan masker/penutup mulut apabila terserang influenza

· Hindari kontak langsung dengan penderita influenza

· Bila sedang menderita influenza disarankan untuk istirahat dirumah.

· Hindari menyentuh mata, hidung dan mulut,

Pencegahan jauh lebih penting. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai cara pencegahan yang bisa dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. Selain itu cara pencegahan ini juga mengedepan karena belum adanya vaksin influenza yang betul-betul menjamin tubuh seseorang kebal terhadap penyakit influenza, terutama flu babi H1N1 ini. Perlu dicamkan, pencegahan jauh lebih murah dan efektif untuk mengatasi secara maksimal penyebaran flu babi H1N1 ini. <Tetrik>

Kamis, 13 Agustus 2009

PERAN LALAT RUMAH DALAM PENULARAN PENYAKIT DAN PENGENDALIANNYA

1. Lalat Rumah

Dilihat dari segi kebiasaan lalat rumah, yang bebas terbang berada di rumah kita yang bersih, mewah atau kotor dan kita lihat sehari-hari yang hidup bersama kita, disadari ataupun tanpa kita sadari bahwa beberapa lalat sudah menghisap cairan dan sisa-sisa makanan di tumpukan sampah, kotoran hewan, kotoran manusia dan bahan tercemar lainnya.

Dilihat dari anatomi tubuh lalat, kaki dan belalai alat penghisap yang penuh ditumbuhi rambut halus, memungkinkan kotoran dan kuman-kuman penyebab penyakit menempel dan ikut berpindah secara mekanik mengikuti keseharian kehidupan lalat yang selalu hidup dekat dengan manusia dan ikut menikmati makanan/minuman kita.

Lalat meletakkan telur dikelembaban tumpukan sayuran busuk, sisa-sisa makanan dan bak sampah. Dari 5000 kg sampah yang diteliti, sekitar 2/3 nya sudah dihinggapi dan berisi telur lalat. Diperkirakan satu bak sampah menghasilkan 20.000 belatung setiap minggu. Lingkaran hidup lalat dari telur menjadi kepompong sekitar 1 minggu, dan dari kepompong menjadi lalat sekitar 3 hari. Berkembangbiaknya lalat termasuk cepat dan menakutkan.

Walaupun lalat tidak termasuk lalat yang menggigit, tetapi lalat dapat menularkan penyakit karena kebiasaan mereka hinggap pada bahan-bahan yang tercemar kotoran manusia, kemudian hinggap pada bahan makanan dan minuman, atau pada borok kulit dan selaput lendir, itulah cara penularan secara mekanik. Diperkirakan 1 ekor lalat rumah di daerah kumuh membawa 4 juta kuman penyebab penyakit di dalam tubuhnya.

Serangga lain yang cara penularannya sama adalah kecoa (lipas=cecunguk) = Rartella germanica (latin) yang menularkan penyakit-penyakit perut di ruang perawatan anak pada rumah sakit karena kecoa mengerubungi kain popok kotor yang bertumpuk, ataupun di bantal dalam sprei kotor di belakang pintu ruang perawatan, kemudian pindah mengerubungi makanan yang terbuka.

2. Peranan lalat yang dianggap bertanggung jawab dalam penyebaran penyakit

a. Penyakit Perut

Kuman penyebab penyakit menempel pada kaki dan belalai lalat kemudian terbawa ikut pindah ke tempat yang dihinggapi sambil menghisap makanan dan merayap diatasnya, atau melalui kotoran dan muntahan lalat.

Salah satu penelitian Wart dan Lindsay tahun 1948 terhadap penyakit disentri dan penyakit shigellosis, dengan pengendalian lalat rumah jumlah kejadian bisa diturunkan sampai 50%.

b. Demam Tipoid dan penyakit saluran cerna lain

Nabusia tertular kuman tipusa atau penyakit saluran cerna lain melalui makanan yang tercemar kuman dari lalat yang sebelumnya hinggap di kotoran manusia yang mengandung kuman tipus/penyakit saluran cerna.

c. Anthrax

Penularan kuman anthrax karena lalat hinggap pada daging binatang yang mati karena sakit anthrax, kemudian hinggap pada timbunan kotoran sekitar manusia. Kuman anthrax lama-kelamaan ikut debu dan terhisap manusia sebagai lazimnya penularan penyakit anthrax.

d. Lepra

Kuman lepra yang menempel pada tubuh lalat tercampur debu dan ikut terhisap udara pernafasan

e. Frambusia (patek)

Penularan kuman dari tubuh lalat yang hinggap pada borok kulit penderita frambusia, hinggap pada luka kulit terbuka pada orang sehat.

f. Penyakit mata jenis trachoma

Virus trachoma pindah dari kotoran mata penderita sakit mata, dipindahkan lalat yang hinggap pada mata orang sehat.

g. Heptitis

Seperti virus polio, virus hipatitis A, Hepatitis C, Hepatitis E pindah pada makanan manusia melalui lalat

h. Penyakit cacingan (cacing gelang, pita dan tambang)

Seperti penyakit saluran cerna lain, telur cacing dipindahkan lalat dari kotoran penderita ke makanan manusia sehat.

i. Kuman Tubercullosis (TBC)

Kuman Tubercullosis penyebab penyakit paru yang merebak setelah maraknya penularan HIV/AIDS, menurut beberapa peneliti juga dapat disebarluaskan oleh lalat rumah. Menurut Lambor yang bekerja di Nyasaland menemukan kuman tuberculosa bisa bertahan hidup di dalam tubuh lalat sampai 1 minggu, kuman tuberculosa menempel pada kaki lalat sewaktu hinggap pada dahak penderita TBC dan bercampur debu dan terhisap bersama udara pernafasan dan kuman pindah ke tubuh orang sehat dengan cara

3. Metodologi pengendalian lalat

Pada prinsipnya pengendalian lalat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

a. Perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan

Ada 4 strategi yang dapat diterapkan dalam perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan yaitu :

Pengurangan atau eliminasi tempat perindukan lalat (reduction or elimination of fly breeding sites)

1) Kandang ternak

Lantai kandang terbuat dari bahan yang konkrit (semen) dengan saluran air limbah yang baik dan kotoran dibersihkan dan digelontor dengan air setiap pagi

2) Kandang ayam dan burung

Akumulasi kotoran terjadi dibawah kandang dan harus dibersihkan setiap hari agar tidak sebagai tempat perindukan lalat.

3) Tumpukan kotoran ternak

Kotoran diletakkan pada permukaan yang keras/semen dan dikelilingi selokan agar lalat dan pupa tidak bermigrasi ke tanah sekelilingnya, pola penumpukan kotoran menggunung untuk mengurangi luas permikaan, tumpukan kotoran sebaiknya ditutupi plastik untuk mencegah lalat meletakkan telurnya dan dapat membunuh larva karena panas yang diproduksi oleh tumpukan kotoran.

4) Kotoran manusia

Pembuangan kotoran dibuatkan jamban yang memenuhi syarat kesehatan, dan dipasang kawat kasa pada pipa-pipa ventilasi.

5) Sampah dan buangan material organik

Perlu dilakukan pengelolaan sampah yang memenuhi syarat kesehatan mulai dari pengumpulan penyimpanan dan pembuangan.

6) Drainase/parit air limbah

Endapan lumpur pada saluran air limbah merupakan tempat perindukan lalat, maka harus dibersihkan secara rutin.

Reduksi sumber-sumber yang menarik bagi lalat dari area lain (reduction of sources that attract flies from other area)

Lalat tertarik pada bau yang dikeluarkan oleh suatu breeding sites, oleh karena itu tempat atau sumber-sumber yang menarik bagi lalat perlu dilakukan pembersihan (cleanliness), pembuangan (removal of waste), dan menyimpan sesuatu dalam keadaan tertutup (its storage under cover).

Mencegah kontak antara lalat dengan pathogen penyebab penyakit (prevention of contact between files and disease causing germs)

Melindungi makanan, peralatan makan dan manusia dari kontak dengan lalat (protected of food, eating utensils and people from contact with flies)

Upaya yang dapat dilakukan dengan menyimpan makanan pada container yang kedap lalat (fly proofing container), almari, memasang jaring atau kasa pada jendela ataupun sesuatu yang terbuka. Pemasangan pintu yang dapat menutup secara otomatis (self closing door), fly curtain, dan plastic strips that touch other akan mampu mencegah kontak antara lalat dengan manusia.


b. Membunuh lalat secara langsung

Metode membunuh lalat secara langsung dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


1) Metode Fisik (Physical method)

Metode ini sangat murah, dapat menghindari resistensi, namun tidak efektif bila tingkat kepadatan lalat tinggi, sehingga metode ini hanya cocok pada skala rumah sakit, hotel, supermarket, tempat penjualan daging, buah dan sayuran. Beberapa metode fisik yang dapat digunakan adalah:

· Fly Traps

Metode ini terdiri dari dua bagian, yang pertama merupakan kontainer/kaleng tempat umpan (bait) dengan volume 18 liter. Bagian kedua terdiri dari sangkar tempat lalat terperangkap berbentuk kotak dengan ukuran : 30 cm x 30 cm x 45 cm. Dua bagian tersebut disusun dengan sangkar berada diatas, jarak antara dua bagian tersebut diberi sekat berlubang 0,5 cm sebagai jalan masuk lalat ke dalam perangkap.

Model ini bisa digunakan selama 7 hari setelah itu umpan dibuang dan diganti. Fly traps dapat menangkap lalat dalam jumlah besar dan cocok untuk penggunaan diluar rumah, diletakkan pada udara terbuka, tempat yang terang dan terhindar dari bayang-bayang pohon.

· Sticky tapes

Alat ini berupa tali/pita yang dilumuri larutan gula sehingga lalat akan lengket dan terperangkap, bila tidak tertutup debu bisa bertahan beberapa minggu. Cara peletakan alat ini adalah dengan cara digantungkan dekat atap rumah.

· Light Trap with Electrocutor

Prinsip alat ini adalah membunuh lalat dengan listrik, lalat yang hinggap pada lampu akan kontak dengan electrocuting grid yang membingkai lampu dengan cahaya blue atau ultraviolet light. Dalam penggunaannya perlu diujicoba dulu karena tidak semua lalat tertarik dengan alat ini. Alat ini banyak dipakai di dapur rumah sakit, restoran, lokasi penjualan buah supermarket.

2) Metode kimia

Pengendalian lalat dengan bahan kimia direkomendasikan bila betul-betul diperlukan, karena untuk menghindari resistensi misalnya pada kondisi KLB, kolera, disentri, trachoma. Beberapa metode kimia adalah Vaporizing (slow release), toxic bait, space spraying (quickly knocked down, short lasting) di dalam rumah maupun di luar rumah, residual spraying (slow lasting) pada tempat peristarahatan lalat.

a) Penyemprotan lalat dengan insektisida

Biasanya dilakukan di luar rumah seperti TPS/TPA, tempat rekreasi, pasar dan lain-lain. Mempunyai efek sementara dan hanya membunuh lalat-lalat yang terkena insektisida, lalat yang di dalam rumah, kandang dan ditempat perindukan akan tetap hidup. Penyemprotan lalat direkomendasikan pada saat puncak kepadatan lalat (populasi tinggi). Penyemprotan dilakukan pada waktu pagi hari, setiap hari selama 2 minggu.

Keuntungan penyemprotan :

· Kepadatan lalat dapat turun dengan cepat

Kerugiannya penyemprotan :

· Biaya tinggi (waktu lama dan harga insektisida mahal)

· Metode ini kurang efektif bila tempat perindukan banyak.

· Efektifitas penyemprotan dipengaruhi oleh angin.

b) Cara Penyemprotan

Penyemprotan terhadap lalat dewasa dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :

· Fogging/pengasapan (swing fox), seperti pad penyemprotan DBD.

· Pengabutan, yaitu penyemprotan Ultra Low Volume (ULV)

· Penyemprotan dengan mistblower, ini merupakan cara yang tepat, tergantung pada putaran angin/udara, serta penyebaran insektisida terjadi secara merata.

c) Insektisida yang digunakan

Beberapa insektisida yang direkomendasikan digunakan untuk pengendalian lalat (tidak menimbulkan resistensi) adalah :

· Senyawa organo fosfat (Dichlorvos dan diazinon, dosis 0,3 s/d 1,0 gram/m² b.a, Trichlorfon, dimethoate, fenchlorvos, tetrachlorvinphos, bromophos, fenithrotion dan fention dengan dosis 1 – 2 gram/ m².)

· Insect Growth Regulator /IGRs (Diflubenzuroncryomazine, triflumuron dosis 0,5 – 1,0 gram/m², Pyriproxyfen dosis 0,1 gram/ m²) Kelompok ini mampu mencegah perkembangan larva selama 2-3 minggu.

Insektisida yang digunakan untuk membunuh larva bisa dalam bentuk suspensi atau larutan dengan suprayer atau gembor. Volume air yang digunakan harus dapat membasahi permukaan sampah sedalam 10 – 15 cm. Oleh karena itu dibutuhkan larutan sebanyak 0,5 – 5 liter/m² permukaan sampah.

4. Survei lalat

Tujuan dari survei lalat adalah untuk identifikasi jenis lalat dan mengetahui kepadatan populasi lalat. Ditinjau dari segi waktu survei lalat ada dua macam yaitu :

a. Pre Control Survey

Kegiatan ini dilakukan untuk menentukan dimana (where), kapan (when), bagaimana (how) pengendalian lalat seharusnya dilakukan. Kegiatannya adalah penentuan species penting yang menimbulkan masalah, sumber (tempat perindukan), fluktuasi musiman, distribusi dan kebiasaan lalat dewasa (termasuk night resting), kepadatan lalat dewasa pada daerah yang berbeda, dan survei untuk (susceptibilitas insektisida).

b. Post Control Survey

Metode yang digunakan adalah Fly Grill Count, Count of Baits dan Counts on Available Survaces. Metode Fly Grill mudah dan murah dalam operasionalnya. Untuk menghitung kepadatan lalat dengan menggunakan alat fly grill dan cara pengukurannya dengan jalan menghitung jumlah lalat yang hinggap selama 30 detik pada fly grill dengan counter, Pengukuran dilakukan sebanyak 10 kali, kepadatan diperoleh dengan cara menghitung rata-rata dari lima hasil pengukuran tertinggi.

GAMBARAN KASUS DIARE KABUPATEN BOYOLALI TAHUN 2005 S/D 2007

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja melembek sampai cair serta bertambahnya frekuensi buang air besar dari biasanya (lazimnya 3 atau lebih dalam sehari) seringkali diare disertai kejang perut.

Diare yang terjadi dengan jumlah kasus banyak serta menimbulkan banyak kematian, biasanya diakibatkan oleh suatu agent yang mempunyai masa inkubasi pendek, agent atau kuman yang mempunyai kemampuan seperti itu misalnya disebabkan oleh Vibrio cholera yang di Indonesia dikenal dengan setype Ogawa dan Inaba dengan biotype El Tor. Penyebaran penyakit ini berlangsung secara orofecal melalui perantara air, makanan atau vektor seperti lalat rumah. Masa Inkubasi Vibrio cholera ini biasanya beberapa jam hingga 5 hari (2 sampai 3 hari).

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DIARE

Faktor-faktor yang mempengaruhi diare adalah :

· lingkungan

· gizi

· kependudukan

· pendidikan

· social ekonomi

· perilaku masyarakat.

Diare dapat disebabkan oleh bakteri (Eschericia coli, Vibrio cholera, Shigella dan Entamoeba histolytica) virus, parasit (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan/minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia, dan alergi terhadap susu.

GEJALA DIARE SECARA UMUM

Gejala diare secara umum ditandai dengan frekuensi buang air besar melebihi normal, tinja encer atau cair, sakit atau kejang perut, terasa haus yang amat sangat, tidak mau makan, badan lesu dan lemas, demam, dan muntah (pada beberapa orang tertentu).

TUJUAN

1. Tujuan Umum

Diketahuinya gambaran epidemiologi penyakit diare di Kabupaten Boyolali

2. Tujuan Khusus

a. Mendiskripsikan diare menurut tempat, waktu dan orang

b. Memberikan masukan untuk upaya penanggulangan penyakit diare

GAMBARAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DIARE

a. Distribusi kasus diare menurut golongan umur

Distribusi kasus diare menurut golongan umur, selama tiga tahun terakhir menunjukkan pola yang hampir sama. Pada dua tahun sebelumnya, kasus tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun, disusul kelompok 5 – 9 tahun dan terendah pada kelompok umur > 70 tahun. Sedangkan pada tahun 2007, kasus tertinggi terdapat pada kelompok umur 1 – 4 tahun dan disusul kelompok umur 20 – 44 tahun. Dibanding dengan 2 tahun sebelumnya, pada tahun 2007 rata rata menunjukkan kenaikan kasus di semua kelompok umur.





b. Distribusi kasus diare menurut wilayah Puskesmas

Selama tiga tahun terakhir, terlihat adanya pergeseran jumlah kasus diare menurut tempat kejadian (Puskesmas). Pada tahun 2005, kasus tertinggi pada Puskesmas Mojosongo dengan 1.571 kasus. Pada tahun 2006, kasus tertinggi sebanyak 1.526 kasus yang terdapat pada Puskesmas Mojosongo dan Puskesmas Cepogo. Sedangkan pada tahun 2007 kasus tertinggi pada Puskesmas Cepogo dengan 2.508 kasus.

Terdapat lima Puskesmas yang selama tiga tahun berturut-turut selalu mengalami kenaikan kasus, diantaranya adalah Puskesmas Cepogo, Musuk I, Ngemplak, Nogosari, Wonosegoro dan Puskesmas Juwangi. Juga terdapat dua Puskesmas yang selama tiga tahun berturut-turut justru mengalami penurunan kasus yaitu Puskesmas Ampel I dan Puskesmas Simo.

Puskesmas Karanggede sejak bulan Januari 2006 tidak pernah menyampaikan laporan STP-PUS, sehingga data yang muncul hanya tahun 2005. Puskesmas Klego I sejak Januari 2006 hanya menyampaikan laporan STP-PUS pada bulan Juni dan Juli 2007.

c. Distribusi kasus Diare menurut waktu kejadian

Distribusi kasus diare menurut bulan kejadian tahun 2007, dibanding tahun 2006 rata rata mengalami kenaikan, hanya pada bulan Oktober cenderung mengalami penurunan walau sedikit. Dibanding tahun 2005, rata-rata kasus perbulan tahun 2007 mengalami kenaikan. Namun jika dilihat kasus perbulan ada tiga bulan yang justru menunjukkan penurunan. Tiga bulan tersebut adalah bulan April, Mei dan Juli. Tiga bulan pertama di tahun 2007 terjadi kenaikan kasus yang signifikan, kemungkinan hal ini disebabkan oleh kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali yang menerapkan pengobatan dasar dibiayai Pemda (gratis). Selengkapnya distribusi kasus per bulan dapat dilihat pada grafik 3.

Pada bulan Nopember dan Desember 2007 terjadi peningkatan kasus lagi, hal ini kemungkinan dikarenakan berhubungan dengan datangnya musim penghujan. Dikhawatirkan hal ini akan berlanjut pada awal tahun 2008. Sehingga perlu kewaspadaan dan kepekaan surveilans terutama pada awal tahun.


d. Insiden Rate kasus diare per Puskesmas

Insiden Rate (angka kesakitan) kasus diare tahun 2007 tertinggi terjadi di wilayah Puskesmas Cepogo dengan 4,86%. Disusul Puskesmas Kemusu I dengan 4,81%. Di dalam grafik angka kesakitan terendah terjadi di Puskesmas Karanggede 0,0%, namun hal ini tidak dapat dijadikan tolok ukur yang sebenarnya dikarenakan Puskesmas Karanggede tidak pernah mengirimkan laporan STP-PUS sebagai dasar pengolahan data ini.

Total kasus diare Kabupaten Boyolali tahun 2007 sebanyak 16.489 penderita dan jumlah penduduk sebanyak 939.087 jiwa, sehingga Insiden Rate (IR) atau angka kesakitan diare Kabupaten Boyolali sebesar 1,76%.


HAL–HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN

1. Pencegahan Penyakit Diare

Beberapa hal yang dapat kita lakukan agar kita senantiasa terhindar dari penyakit diare dapat diuraikan secara singkat sabagai berikut :

· Banyak minum air putih atau terapi air

· Cuci tangan dengan air dan sabun sesering mungkin atau paling tidak sebelum makan dan sesudah buang air besar

· Minum air bersih yang telah dimasak

· Makanan yang tersaji harus ditutup untuk mencegah kontaminasi lalat, kecoa, tikus dsb.

· Selalu menjaga kebersihan lingkungan anda berada (seperti buang sampah pada tempatnya, membersihkan selokan dsb.)

· Penampungan tinja dari WC yang dekat dengan sumber mata air harus dibuat dengan kedap air

· Kenali tubuh kita, agar tidak salah makan atau minum sehingga terhindar dari alergi yang dapat menyebabkan diare.

2. Penanganan Penderita Diare

Memperbanyak minum air bersih yang telah dimasak, hindari makanan yang berbentuk padat selama 1-2 hari, hindari makanan atau minumam yang merangsang seperti sambal, santan, nanas dsb, minum cairan rehidrasi/larutan gula garam (Oralit), segera memeriksakan diri ke dokter.

3. Tatacara Minum Larutan Gula Garam (Oralit)

· Minumlah larutan ORALIT sedikit demi sedikit, 2-3 teguk, dan berhenti 3 menit untuk memberi kesempatan ORALIT diserap oleh usus dan menggantikan garam serta cairan yang hilang dalam feses atau kotoran.

· Lakukan secara terus menerus sampai habis 1 gelas, apabila diare masih berlanjut, minum ORALIT harus tetap diteruskan sampai beberapa bungkus hingga 3-8 bungkus dalam sehari

· Segeralah ke dokter, karena bahaya terbesar dari gejala ini adalah hilangnya cairan tubuh dan garam terutama natrium dan kalium, sehingga mengalami dehidrasi yang dapat menyebabkan kematian.


KESIMPULAN

Kejadian diare di Kabupaten Boyolali masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian serius. Jika dilihat dari kelompok umur penderita, dari tahun ke tahun, menunjukkan pola yang hampir sama yaitu yang paling berisiko adalah kelompok umur 1 – 4 tahun. Dilihat dari jumlah kasus, telah terjadi pergeseran jumlah kasus tertinggi dari wilayah Puskesmas Mojosongo pada tahun 2005 ke wilayah Puskesmas Cepogo di tahun 2007. Sebanyak lima Puskesmas selama tiga tahun menunjukkan adanya kenaikan kasus secara terus menerus. Rata rata angka kesakitan diare di Kabupaten Boyolali mencapai 1,76%.

PERAN PETUGAS SANITARIAN PUSKESMAS DALAM PENGAWASAN KUALITAS AIR DI KABUPATEN BOYOLALI

Air sangat diperlukan oleh tubuh manusia seperti halnya udara dan makanan. Tanpa air, manusia tidak akan bisa bertahan hidup lama. Sekitar enam puluh lima persen dari tubuh manusia berisi air. Kehilangan air yang cukup banyak dapat mengakibatkan kematian.

Air minum dalam tubuh manusia berperan sebagai zat pelarut (solvent), media pembawa ( carrier ) atau unsur pereaksi ( katalisator ). Karena itu air minum tersebut harus aman bagi kesehatan. Ukuran keamanan air minum ditentukan berdasarkan syarat kualitas fisik, kimia, mikrobiologi dan radioaktif. Karena air merupakan zat pelarut dan media yang baik, sehingga dapat membawa berbagai zat pencemar yang tergantung pada faktor lingkungannya. Sumber air banyak jenisnya, seperti mata air, sungai, sumur, hujan, danau, laut atau tanaman sehingga kualitasyan pun berbeda satu dengan yang lain.

Pengertian air minum menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 907/ MENKES/ VII /2002 adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.

Gangguan kesehatan yang dapat terjadi pada masyarakat yang mengkonsumsi air yang tidak memenuhi syarat kesehatan antara lain : typhoid, diare/kolera, disentri dan hepatitis. Hasil survey WHO (1990), menunjukkan bahwa penyakit diare (infeksi) menempati urutan kedua penyebab kematian di Indonesia setelah penyakit jantung koroner.

Berdasarkan data sie Surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali periode Januari s/d April 2009, terdapat penderita penyakit diare sebanyak 7.450 kasus dan penyakit typhus abdominalis 940 kasus serta penyakit hepatitis sebanyak 14 kasus. Dari hasil kajian epidemiologi ternyata jumlah penderita penyakit diare dan typhus abdominalis menduduki urutan pertama dan kedua dari 10 besar penyakit menular yang dilaporkan oleh puskesmas.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan insidens penyakit-penyakit tersebut adalah masih banyaknya masyarakat mengkonsumsi air minum yang tidak memenuhi syarat kesehatan disamping sanitasi lingkungan pemukiman yang kurang layak.

Untuk melindungi masyarakat dari gangguan kesehatan akibat menggunakan air yang tidak sehat, maka Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali secara intensif melakukan kegiatan pengawasan kualitas air melalui petugas sanitarian puskesmas.

Petugas sanitarian puskesmas yang tersebar di seluruh kecamatan menjadi ujung tombak bagi Dinas Kesehatan untuk memantau secara langsung di lapangan terhadap kualitas air yang di manfaatkan oleh masyarakat baik dari aspek sarana fisik sumber air maupun dari aspek kualitas air itu sendiri.

Begitu tingginya perhatian Dinas Kesehatan terhadap peningkatan program pengawasan kualitas air di Kabupaten Boyolali, sehingga untuk mobilitas di lapangan semua petugas sanitarian telah dilengkapi dengan sarana kendaraan operasional roda dua.

Sarana penunjang lain yang menjadi perhatian Dinas Kesehatan saat ini adalah peningkatan sarana dan prasarana Laboratorium Kesehatan Daerah dalam mendukung program pengawasan kualitas air dan pengawasan makanan minuman terutama unsur-unsur kimia berbahaya dalam makanan/ jajanan anak-anak sekolah.

PETUGAS SANITARIAN PUSKESMAS

Tenaga kesehatan banyak jenisnya dimana masing-masing jenis mempunyai keahlian berbeda-beda sesuai dengan bidangnya, diantaranya dokter, apoteker, bidan, perawat, sanitarian dsb.

Sanitarian merupakan tenaga profesi kesehatan yang telah mengikuti pendidikan formal sesuai dengan standar Departemen Kesehatan RI dan mempunyai ketrampilan dan keahlian dibidang penyehatan lingkungan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.19/KEP/M.PAN/11/2000 yang tertuang pada BAB I pasal 1 menyatakan, bahwa Sanitarian adalah pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan pengamatan, pengawasan dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka perbaikan kualitas kesehatan lingkungan untuk dapat memelihara, melindungi dan meningkatkan cara-cara hidup bersih dan sehat.


awasan kesehatan lingkungan adalah suatu upaya untuk mengetahui tingkat risiko pencemaran dan atau penyimpangan standar, persyaratan, kriteria kesehatan media lingkungan dan rekomendasi tindak lanjut perbaikan kualitasnya.

Kegiatan tenaga sanitarian adalah kegiatan yang dilakukan oleh tenaga sanitarian berupa upaya-upaya peningkatan derajat kesehatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit berbasis lingkungan yang meliputi kegiatan penyusunan, perencanaan, pengamatan dan pengawasan kesehatan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan kegiatan penunjang lainnya untuk meningkatkan kualitas lingkungan.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya penyuluhan kesehatan lingkungan dalam rangka perbaikan kualitas lingkungan untuk memelihara, melindungi dan meningkatkan cara-cara hidup bersih dan sehat.

Dalam melaksanakan tugas profesinya seorang sanitarian harus selalu bekerjasama dengan profesi lain dan berkoordinasi dengan lintas sektor terkait untuk mengatasi permasalahan kesehatan lingkungan di wilayah kerjanya.

Mengingat permasalahan kesehatan lingkungan sangat luas dan kompleks, maka keberadaan petugas sanitarian di puskesmas adalah mutlak. Namun sayang belum semua puskesmas di Kabupaten Boyolali mempunyai tenaga sanitarian, sehingga akan menghambat pelaksanaan program kesehatan lingkungan di wilayah tersebut.

Salah satu kegiatan pokok sanitarian puskesmas adalah melaksanakan kegiatan pengawasan kualitas air sehingga selalu tersedia informasi keadaan sanitasi sarana air bersih dan kualitas air di wilayahnya. Dengan demikian selalu tersedia pula rekomendasi untuk tindak lanjut terhadap upaya perlindungan pencemaran, perbaikan kualitas air dan penyuluhan kepada pihak terkait.

Adapun kegiatan pengawasan kualitas air meliputi : Inpeksi sanitasi pada sarana sumber air, Pengambilan sample (contoh) air di lapangan dan Pengiriman ke Laboratorium Kesehatan Daerah, Pemeriksaan kualitas air di lapangan serta memberikan rekomendasi & saran tindak lanjut bagi perbaikan sarana sumber air maupun kualitas air yang dihasilkan.

Tujuan dari inspeksi sanitasi adalah untuk mengetahui apakah kontruksi sumber air minum penduduk tersebut telah memenuhi syarat kesehatan. Artinya terlindung dari cemaran bakteri penyakit atau unsur/ zat berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan. Pemeriksaan sampel air (contoh air) bertujuan untuk mendeteksi apakah sumber air tersebut layak atau aman bila digunakan untuk sumber air minum.

PENGAWASAN KUALITAS AIR

Air merupakan salah satu medium tempat tinggalnya beribu – ribu spesies makhluk hidup. Dalam standar kualitas ditetapkan setiap 100 ml contoh air, MPN koliform bakteri harus nol. Koliform bakteri digunakan sebagai indikator di dalam menentukan apakah air telah tercemar oleh tinja atau air limbah. Penyimpangan terhadap standar ini dapat disimpulkan bahwa air tersebut kemungkinan besar terdapat kuman-kuman yang membahayakan kesehatan manusia.

Pada prinsipnya tujuan pemeriksaan kualitas air ialah untuk mengetahui ada tidaknya kuman berbahaya. Akan tetapi di dalam praktik jarang ditemukan Shigella, Salmonella atau Vibrio dari contoh air yang diteliti. Oleh karena itu pengujian air didasarkan atas ada tidaknya bakteri golongan “kolon” saja. Bakteri kolon terdiri atas berbagai bakteri yang merupakan penghuni biasa dari usus tebal manusia atau hewan yang sehat maupun yang sakit, misalnya Escherichia coli dan Aerobacter aerogenes. Kehadiran bakteri kolon di dalam suatu contoh air menunjukkan adanya pencemaran yang berasal dari kotoran manusia atau hewan, dan hal itu identik dengan adanya bakteri patogen.

Pemeriksaan kualitas air dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali. Pemeriksaan bakteriologis bertujuan untuk mengetahui adanya kuman penyakit dalam air (bakteri e.coli) sedangkan pemeriksaan kimiawi bertujuan untuk mengetahui adanya unsur kimia berbahaya (besi, mangan, nitrit, nitrat dsb) yang terlarut dalam air.

Pemerintah Daerah sebenarnya sudah berupaya menyediakan sumber air minum yang layak untuk masyarakat Boyolali melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) , namun kapasitasnya yang terbatas hanya sebagian kecil saja yang terlayani itu pun terbanyak di wilayah perkotaan.

Berdasarkan data pada Sie Kesehatan lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali, pada tahun 2008 sumber air yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Boyolali selain PDAM adalah : Sumur Gali/SGL (39.376 buah), Sumur pompa tangan dangkal/SPT DK (7.679 buah), Sumur pompa tangan dalam/SPT DL (166 buah), Mata air/MA (38 buah), Penampungan air hujan/PAH (1.671 buah), Sumur artesis/SA (3 buah), Perpipaan/PP (165 buah).

Disamping pengawasan terhadap sarana sumber air tersebut diatas, petugas sanitarian puskesmas juga melakukan pengawasan terhadap sarana umum yang menggunakan air atau memanfaatkan air untuk usaha-usaha bagi umum/ konsumsi publik. Sarana yang menjadi obyek pemeriksaan kualitas air antara lain Sarana Kesehatan, Rumah makan, Industri makanan-minuman, Hotel, Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU), Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), Tempat Tempat Umum (TTU)

Berdasarkan Perda tentang retribusi no 16 Tahun 2001 untuk pemeriksaan bakteriologi air dikenakan biaya sebesar Rp.30.000,- per sample dan biaya pemeriksaan kimia air sebesar Rp.75.000,- per sample.

Apabila masyarakat ingin mengetahui kualitas air yang digunakan dapat menghubungi petugas sanitarian puskesmas terdekat atau langsung datang ke Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali.

HASIL PEMERIKSAAN KUALITAS AIR

Hasil pemeriksaan kualitas air yang dilakukan oleh Laboratorium Kesehatan Daerah pada Tahun 2008, adalah sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Bakteriologis

Hasil pemeriksaan kandungan bakteri (e.coli) pada sampel air yang diperiksa dan telah memenuhi syarat kesehatan berdasarkan jenis lokasi/ sasaran adalah :

a. Sarana Kesehatan : 81,6 %

b. Rumah makan : 40 %

c. Industri makanan-minuman : 0 %

d. Hotel : 0%

e. PDAM : 96,7 %

f. Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) : 83 %

g. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) : 73,7 %

h. Pemukiman penduduk : 9,7 %

i. Tempat Tempat Umum (TTU) : 25 %

Hasil pemeriksaan bakteriologi air berdasarkan jenis sumber air adalah:

a. PDAM : 91,6 %

b. Sumur Gali : 15,2 %

c. Sumur Pompa Tangan Dangkal : 50 %

d. Sumur Pompa Tangan Dalam : 100 %

e. Sumur Artesis : 90,5 %

f. Penampungan Air Hujan : 28,6 %

g. Mata Air : 0 %

h. Perpipaan : 0 %

i. Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) : 87,2 %

j. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) : 75 %

Rendahnya kualitas air pemukiman penduduk diatas, karena sebagian besar penduduk menggunakan sumur gali yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Hasil inpeksi sanitasi menunjukkan bahwa jarak sumur gali dengan sumber pencemaran terlalu dekat serta kontruksi sumur gali tidak mampu mencegah kontaminasi zat pencemar dari luar. Penampungan air hujan (PAH) adalah bangunan penangkap air hujan yang sengaja dibuat/dibangun baik oleh pemerintah daerah maupun oleh masyarakat (perorangan) untuk memenuhi kebuthannya akan air. PAH banyak ditemukan pada daerah-daerah sulit air, antara lain di Kecamatan Musuk, Kemusu, wonosegoro dan Juwangi. Biasanya bangunan PAH terutama yang dibuat penduduk kontruksinya kurang memenuhi syarat sehingga mudah terkontaminasi sumber pencemar dari luar bahkan banyak yang menjadi tempat perindukan nyamuk.


ain kualitas air pada pemukiman penduduk yang perlu menjadi perhatian adalah DAMIU dan AMDK, karena memproduksi air minum yang langsung di konsumsi masyarakat harus 100 % bebas dari bakteri. Ditemukan nya bakteri pada AMDK dikarenakan pemeriksaan kualitas air dilakukan sejak proses pengolahan awal sampai akhir. Pada proses awal biasanya masih banyak ditemui kandungan bakteri tetapi pada proses akhir sebelum di kemas/ packing untuk dipasarkan, sudah tidak ditemukan adanya bakteri lagi (100 % bebas bakteri).

Salah satu factor penyebab masih adanya bakteri pada DAMIU, karena alat desinfektan (ultra violet/ UV) kurang berfungsi atau tidak mampu membunuh bakteri lagi.

Kepada masyarakat yang mengkonsumsi air isi ulang, agar selalu melihat hasil pemeriksaan kualitas air pada Depot tersebut. Caranya dengan menanyakan langsung pada pemilik/ penunggu Depot dan dilihat kapan waktu pemeriksaannya. Pada DAMIU yang memperhatikan keamanan produksinya akan selalu memeriksakan kualitas airnya minimal 6 bulan sekali dan hasilnya ditempel di depan agar mudah dilihat oleh konsumen.

Upaya untuk mengatasi agar air bebas dari bakteri penyakit adalah melakukan kaporisasi sumur dan memasak air sampai mendidih sebelum di konsumsi.

2. Pemeriksaan Kimiawi

Hasil pemeriksaan kimia (Nitrit, nitrat, Fe dsb) pada sampel air yang diperiksa dan telah memenuhi syarat kesehatan berdasarkan jenis lokasi/ sasaran adalah:

a. Sarana Kesehatan : 76,9 %

b. Rumah makan : 100 %

c. Industri makanan-minuman : 100 %

d. Hotel : 100 %

e. PDAM : 98 %

f. Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) : 100 %

g. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) : 100 %

h. Pemukiman penduduk : 91,7 %

i. Tempat Tempat Umum (TTU) : 50 %

Hasil pemeriksaan kimiawi (Nitrit, nitrat, Fe dsb) pada sampel air yang diperiksa dan telah memenuhi syarat kesehatan berdasarkan jenis sumber air adalah:

a. PDAM : 100 %

b. Sumur Gali : 85,3 %

c. Sumur Pompa Tangan Dangkal : 100 %

d. Sumur Pompa Tangan Dalam : 100 %

e. Sumur Artesis : 66,7 %

f. Penampungan Air Hujan : 0 %

g. Mata Air : 71,4 %

h. Perpipaan : 100 %

i. Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) : 100 %

j. Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) : 100 %

Kandungan kimia dalam air pada sumber-sumber air di Kabupaten Boyolali pada umumnya baik, kecuali pada sarana sumber air yang menggunakan sumur dengan kedalaman lebih dari 20 meter. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa sample air yang diperiksa dari sumber air dengan kedalam lebih dari 20 meter banyak ditemukan kandungan besi (Fe). Pada sumber air dari mata air biasanya ditemukan nitrit atau nitrat. Kondisi ini mencerminkan telah terjadi kontaminasi dari luar terhadap mata air tersebut, baik dari sampah organic maupun dari kotoran hewan/ manusia. Hasil pemeriksaan bakteri pun menunjukkan bahwa semua sumber air dari mata air yang diperiksa mengandung bakteri.

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan treatmen, antara lain : Aerasi dan kaporisasi.

KESIMPULAN

Air merupakan media yang baik bagi tumbuhnya mikroorganisme penyebar penyakit yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia, sehingga perlu selalu dipantau kualitasnya sebelum di konsumsi.

Hasil pemeriksaan sampel air menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat di Kabupaten Boyolali menggunakan air dari sarana sumber air yang tidak memenuhi syarat kesehatan, bahkan Depot Air Minum Isi Ulang (DAMIU) yang tersebar di wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Boyolali, tidak dapat menjamin kualitas air minum yang diproduksinya 100 % bebas bateri.

Petugas Sanitarian puskesmas menjadi ujung tombak paling depan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali dalam perannya melindungi masyarakat terhadap penggunaan air yang tidak memenuhi syarat kesehatan.